Senin, 17 Oktober 2011

Pengembangan Materi Kata Ulang dalam Keterampilan Menulis Paragraf Narasi


Kata ulang dalam keterampilan menulis ( Kelas X)
v  Standar Kompetensi    :    mengungkapkan informasi dalam berbagai bentuk paragraf (naratif, deskritif, eksposisi).
v  Kompetensi Dasar       :    menulis gagasan dengan menggunakan pola urutan waktu dan tempat dalam bentuk  paragraf naratif.
v  Langkah-langkah Pembelajaran :
ü  Siswa diberikan wacana atau teks naratif. Wacana yang diberikan kepada siswa terlampir.
ü  Setelah siswa membaca wacana naratif tersebut. Kemudian siswa diminta untuk mencatat dan mencari kata ulang yang terdapat dalam wacana yang ada.
ü  Setelah itu, guru dan siswa bersama-sama membahas kata ulang yang ada pada wacana naratif. Contoh yang ada pada wacana naratif adalah sebagai berikut.
-          Tanpa pakai jampi-jampi, bunga atau kemenyan, Pak Kusno menengadah sambil meletakkan tangannya di kening Bejo.
-          Sejak saat itu Tayib, Kartini, dan Mbah Karyo, bapaknya, berjanji akan merayakan syukuran kecil-kecilan kalau Bejo genap lima tahun.
-          Diam-diam tayib merasa mungkin ini isyarat Yang Maha Kuasa bahwa janji mereka sudah saatnya ditepati.
-          Bejo senang? Mata Bejo kembali berkilat-kilat.
-          Mereka tahu tapi mereka tidak punya apa-apa untuk itu.
-          Sementara Bejo tampak selalu riang, ke mana-mana selalu bercerita kepada teman-temannya bahwa ia akan berulang tahun, akan ada makan-makan, akan mengundang teman-temannya.
-          Bejo kerapkali mengigau menyebut kata ulang tahun berulang-ulang, kalau panasnya tinggi.
-          Kulit tubuhnya timbul bintik-bintik merah seperti bekas gigitan nyamuk, banyak sekali.
-          Sudah berkali-kali ia muntah, sepertinya perutnya selalu mual.
-          Setiap hari bekerja mati-matian sampai tulang belulangnya terasa copot, tetap saja kere.
-          ….buka praktek gratis buat orang-orang kere macam dirinya, paling tidak seminggu sekali.
-          Ia harus jadi orang besar supaya tidak diinjak-injak orang, tetapi yang punya hati dan cinta seperti katamu.
-          Tidak pernah merasakan pegang uang, tidak pernah makan kenyang, nonton pilem sama-sama di twenty one.
-          Kita tidak bisa mengadakan pesta ulang tahun Bejo meski sudah bertahun-tahun kita rencanakan dan kita janjikan.
-          Bapak capek seharian tadi cari barang-barang pulungan.
-          Jangan berpikir yang macam-macam.
-          Sudah, jaga Bejo baik-baik.
-          Meskipun masih hujan, tayib terus menyusuri gang-gang sempit, becek, dan gelap sebelum sampai di jalan raya.
-          Dengan hati riang, tayib bersiul-siul di atas becaknya yang terus melaju.
-          Dilihatnya banyak anak-anak dan Bejo di tengah-tengah, meniup lilin di atas kue yang besar sekali.
-          Tayib melihat begitu banyak lilin, beratus-ratus lilin, dan makanan enak, dan pakaian baru, dan kue yang berwarna-warni
-          Dadanya berdegup kencang, berdentam-dentam.
-          Tiba-tiba kartini menangis. Air matanya mengalir deras, jauh lebih deras dari hujan di malam itu.
ü  Dari contoh-contoh penggunaan kata ulang yang ada, guru dan siswa sama-sama mendiskusikan jenis kata ulang dari contoh yang ada.
ü  Untuk melatih siswa, siswa diminta untuk mengelompokkan contoh-contoh yang ada sesuai dengan jenis kata ulang yang terdapat dalam wacana naratif. Contohnya:
No
Kalimat
Cara  pengulangan
Makna pengulangan
1
-       Tanpa pakai jampi-jampi, bunga atau kemenyan, Pak Kusno menengadah sambil meletakkan tangannya di kening Bejo.
Pengulangan utuh
Tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang
2
-       Sejak saat itu Tayib, Kartini, dan Mbah Karyo, bapaknya, berjanji akan merayakan syukuran kecil-kecilan kalau Bejo genap lima tahun.
Pengulangan disertai afiksasi
Menyatakan kesangatan
3
-       Tayib melihat begitu banyak lilin, beratus-ratus lilin, dan makanan enak, dan pakaian baru, dan kue yang berwarna-warni

-Pengulangan disertai afiksasi
-Pengulangan salin suara.
-   Menyatakan banyak






ü  Selain contoh yang ada di wacana, guru bersama siswa mencari contoh penggunaan dengan berbagai jenis kata ulang.
¨  Setelah mengerti, siswa diberi latihan mengenai kata ulang.
1. Siswa diminta untuk membuat kalimat dari kata ulang yang telah ditentukan. Hal ini membantu siswa dalam membuat kalimat pada teks naratif sebagai tugas akhir.

Kata-kata ulang tersebut;

1.      Bolak-balik
2.      Masa-masa
3.      Lelaki
4.      Mobil-mobilan
5.      Warna-warni
6.      Pura-pura
7.      Bebatuan
8.      Bernyanyi-nyanyi


2. Latihan selanjutnya adalah siswa diminta membuat paragraf naratif yang di dalamnya terdapat kata-kata ulang dari berbagai jenis, minimal kata ulang yang terdapat dalam tulisan siswa yaitu, 10 kata ulang. Hal ini sesuai dengan kompetensi dasar yaitu menulis paragraf naratif.
















Ulang Tahun Itu
       Oleh Gusti Herselo Age

            Tayib duduk dengan pikiran kalut di depan rumahnya yang kumuh, penuh barang rongsokan, kardus, koran bekas, dan pecahan beling. Di mana-mana sampah. Lalat beterbangan mencari makan dan tempat yang cocok untuk menetaskan telurnya.
            Pagi itu, Tayib menerawang memikirkan Bejo, anak tunggalnya dari perkawinannya dengan Kartini. Sewaktu bayi dulu Bejo hampir mati, tubuhnya panas Tinggi. Orang banyak bilang ia kena tifus, sementara dokter belum pernah mendiagnosis penyakit itu karena mereka belum bisa memeriksakannya. Uang dari mana, pikir Tayib waktu itu, jika untuk makan saja mereka tidak bisa kenyang, itu pun sekali.
            Yang jelas Bejo akhirnya sembuh dengan pertolongan orang yang tahu kebaTinan. Pak Kusno namanya. Tanpa pakai jampi-jampi, bunga, atau kemenyan, Pak Kusno menengadah sambil meletakkan tangannya di kening Bejo. Aneh, beberapa hari kemudian panasnya turun dan Bejo pun sembuh, tidak pernah sakit hingga usianya hampir lima tahun. Sejak saat itu Tayib, Kartini, serta Mbah Karyo, bapaknya, berjanji akan merayakan syukuran kecil-kecilan kalau Bejo genap lima tahun.
            “Pak, Bejo ulang tahunnya kapan, sih?” tanya Bejo kemarin pada Tayib. Matanya berkilat tampak cerdas.
            Hati Tayib trenyuh. Tahu dari mana Bejo ulang tahun itu. Di daerah itu jarang ada pesta, apalagi sekadar ulang tahun. Diam-diam Tayib merasa mungkin ini isyarat Yang Maha Kuasa bahwa janji mereka sudah saatnya ditepati.
“Sekarang tanggal berapa, Jo?” tanya Tayib.
“Tidak tahu, pak, Bejo kan belum sekolah,” jawab Bejo.
“Dengar, Jo, sebentar lagi Bejo ulang tahun. Lima hari lagi. Bejo senang?” mata Bejo kembali berkilat-kilat, “Senang dong, pak. Ulang tahunnya bagaimana, pak?”
“Ya, pesta,”jawab Tayib singkat.
“Menyembelih ayam,pak?”
“Iya.”
“Bejo dibelikan baju baru?”
“Iya.”
“Nanti makan-makan sama teman-teman Bejo?”
“Iya.”
“Nanti ada karno, Gembil, Bondan. Ada Yudo, terus Toto, ada Warti, Genduk, Rintil, terus ada…banyak ya, pak?”
“Iya dong.”
Aneh. Setiap Bejo tanya sesuatu selalu dijawab “iya”, padahal Tayib pun tidak tahu maksudnya. Kemarin saja, mereka baru membayar bon yang menumpuk. Itu pun tidak lunas semuanya.
Dan sebentar lagi Bejo ulang tahun. Tayib dan Kartini pun tahu. Mereka tahu tapi mereka tidak punya apa-apa untuk itu. Sementara Bejo selalu tampak riang, ke mana-mana selalu bercerita kepada teman-temannya bahwa ia akan berulang tahun, akan ada makan-makan, akan mengundang teman-temannya. Berulang kali Bejo bertanya pada Tayib, Kartini, dan simbahnya, dan mereka selalu mengiyakan dengan tegas dan meyakinkan, padahal hati mereka tertikam oleh jawaban yang keluar dari mulut mereka sendiri.
Seminggu pun berlalu. Tidak ada ayam dipotong, tidak ada baju baru, tidak ada makan-makan dan teman-teman yang berkumpul, tidak ada ulang tahun. Sebabnya pasti, mereka tidak punya uang, tidak bisa berutang karena takut tidak bisa membayar. Kerja sudah mereka lakukan, tapi seolah tanpa hasil. Mereka merasa ditertawakan oleh sampah, rongsokan besi berkarat, dan keringat mereka sendiri.
Sejak itu Bejo jadi pendiam, jarang main ke luar, diam saja di rumah. Matanya tidak lagi berkilat jenaka. Yang paling membuat Kartini sedih, ia tidak mau makan. Tubuhnya dari hari ke hari memanas. Bejo kerapkali mengigau menyebut kata ulang tahun berulang-ulang, kalau panasnya Tinggi. Sering juga ia muntah.
* * *

Malam itu hujan turun dengan derasnya, menembus atap rumah Tayib. Bulan tidak lagi keluar, tenggelam dalam pelukan awan hitam. Suara serangga malam dan katak yang kedengaran dan bunyi air yang menerobos masuk dan jatuh di ember, panci, dan wajan yang digunakan Kartini untuk menadahinya.
Tayib tidur beralaskan koran, Mbah Karyo di atas tumpukan kardus, sementara Kartini dan Bejo di atas amben kecil yang sudah lapuk. Sudah empat hari Bejo sakit. Kemarin, sudah dibawa ke puskesmas dan mereka disuruh membawanya ke dokter jika obatnya habis, namun belum sembuh. Kulit tubuhnya timbul bintik-bintik merah seperti bekas gigitan nyamuk, banyak sekali.
Kartini mengganti kain kompres Bejo. Suara erangan anaknya membuat Tayib tergagap bangun. Baru setengah jam ia tidur sehabis menarik becak seharian penuh.
“Panas Bejo belum turun juga, Kang. Sudah berkali-kali ia muntah, seperTinya perutnya selalu mual.”
“Sudah kau bawa ke dokter, Tin? Tanya Tayib. Pertanyaan yang ia sendiri tahu jawabannya. Mereka tidak punya uang.”
“Duit dari mana, Kang. Yang tiga ribu perak sudah habis, Tinggal tiga ratus.”
Tayib tafakur merenungi nasib keluarganya. Setiap hari bekerja mati-matian sampai tulang belulangnya terasa copot, tetap saja kere. Bagaimana ia bisa mewujudkan impiannya menyekolahkan anaknya supaya jadi dokter yang mau buka praktek gratis buat orang-orang kere macam dirinya, paling tidak seminggu sekali. “iya-iya, Tin. Besok anak kita bisa jadi orang meski anak tuKang becak dan pemulung yang tidak tamat SD,” katanya dulu ketika Kartini mengandung Bejo.
“Jadi apa-apa yang penTing baik, Kang. Yang penTing punya hati, punya cinta,” Kartini menyahut.
“Nggak, Tin. Ia harus jadi orang besar supaya tidak diinjak-injak orang, tetapi yang punya hati dan cinta seperti katamu.”
Tayib masih tenggelam dalam lamunannya ketika Kartini menepuk bahu suaminya.
“Kamu melamunkan apa, Kang?” tanyanya.
“Ehh…tidak, Tin.” Tayib tersadar. “Kamu menyesal kawin denganku, Tin?” tanya Tayib berat
“Oalaaah…kamu ngomong apa, to. Apa selama ini sikapku menunjukkan seperti yang kamu omongkan, Kang?” mata Kartini berair, haTinya pedih.
“Kita melarat, Tin. Tidak pernah merasakan pegang uang, tidak pernah makan kenyang, nonton pilem sama-sama di twenty one. Kita tidak punya kasur empuk, rumah mewah yang tidak bocor, tidak bau. Kita tidak bisa mengadakan pesta ualng tahun Bejo meski sudah bertahun-tahun kita rencanakan dan kita janjikan. Ketika sakit pun, kita tidak sanggup mengantarnya ke dokter. Kita…”
Tayib berhenti dari ceracaunya. Dilihatnya Kartini menangis sesengukan dan Bejo muntah lagi, kali ini ada sedikit darah keluar dari mulutnya.
“Tidak, Kang…tidak. Aku tidak mau dengar kamu ngomong gituan lagi. Aku tidak akan pernah menyesal, kalaupun aku atau kamu mati.”

* * *
Hampir pukul sebelas mereka tak lagi tidur, menunggui Bejo, tadi Kang Kliwon memberikan pinjaman seribu rupiah, tapi jelas tidak cukup untuk menebus resep. Mau tak mau Tayib harus narik lagi malam ini.
“Tidak usah, Kang, kamu tidak usah narik malam ini. Aku takut ada apa-apa dengan Bejo. Kasihan kan, kalau harus membangunkan bapak. Bapak capek seharian tadi cari barang-barang pulungan. Aku kuatir kalau bengeknya kumat lagi. Kita juga tidak bisa membawa Bejo malam ini kalaupun dapat uang,” kata Kartini. Perasaan wanitanya bergeJolak.
 “Sudahlah, Tin. Tidak apa-apa, toh sakit Bejo belum lama. Jangan berpikir macam-macam. Kita butuh uang biar besok Bejo bisa langsung dibawa ke dokter. Kebutuhan kita kan banyak, barangkali saja malam banyak rezeki. Percayalah, Tin. Tuhan Maha Pemurah,” kata Tayib sambil mengenakan kaos oblongnya.
“Tapi, Kang?”
“Sudah, jaga Bejo baik-baik. Percaya saja sama Yang Maha Kuasa,” kata Tayib sambil mencium istrinya dan kemudian Bejo.
Kartini melepas suaminya dengan perasaan sedikit tenang, sementara Mbah Karyo terus bermimpi tentang ulang tahun cucu kesayangannya. Saat itu ia tersentak kaget, ada sesuatu yang tidak beres dengan mimpinya. Mbah Karyo pun terbangun dengan dada yang berdegup kencang.
Meskipun masih hujan, Tayib terus menyusuri gang-gang sempit, becek dan gelap sebelum sampai di jalan raya. Dinginnya udara, cipratan air, tak lagi dirasakannya. Kadang becaknya terperosok dalam tanah bersampah. Tayib pun terus mengayuh.
Sesampainya di jalan, suasana berubah sama sekali, begitu terang benderang, tidak seperti di kampong Tayib. Begitu hujan berhenti, kendaraan berseliweran lebih banyak lagi. Semuanya ingin melewatkan malam minggu dengan berbagai acara. Tayib pun berharap malam itu ia dapat uang banyak.
Hampir pukul tiga dini hari ketika Tayib pulang ke tempatnya mangkal. Ia baru saja mengantar orang baik hati yang mau memberinya selembar lima ribuan. Dengan hati riang, Tayib bersiul-siul di atas becaknya yang terus melaju. Ketika sampai di dekat jembatan, Tayib menangkap sorot lampu kendaraan yang meluncur ke arahnya. Sebuah sedan putih membawa sepasang anak muda yang baru nonton midnite. Rupanya dalam keadaan yang melaju kencang mereka mempraktekkan salah satu adegan film yang ditontonnya. Benturan keras terdengar saat kendaraan itu oleng, membuat mereka sadar dari permainan nafsu mereka.
Tubuh Tayib terpental, melayang melewati bibir jembatan, sementara becaknya telah jatuh ke sungai. Tayib merasakan tubuhnya meluncur membelah udara pagi yang dingin, terus meluncur…sampai ia merasakan kepalanya pecah terbentur batu yang seribu kali lebih keras dari kepalanya. Tayib ingat Kartini, Bejo, dan bapaknya. Ia ingat ulang tahun itu. Dilihatnya banyak anak-anak dan Bejo di tengah-tengah, meniup lilin di atas kue yang besar sekali. Tayib melihat begitu banyak lilin, berates-ratus lilin, dan makanan enak, dan pakaian baru, dan kue yang berwarna-warni, kuning….hijau…merah…putih…warna merah darah dan putihnya otak. Lalu gelap….lama sekali.
Tayib merasakan gelap yang paling lama dalam hidupnya. Dalam kegelapan itu ia ikut bernyanyi bersama anak-anak. “hepi berde….hepi berde….hepi berde tu..yu…” Dan arus sungai yang deras pun menyeret tubuh Tayib.
* * *
Dalam rumahnya, Kartini menunggui Bejo di tengah gemericiknya hujan yang mulai turun lagi.
“Tuhan, kasihanilah orang-orang miskin, anak yatim piatu di emper toko. Lindungilah dari hati manusia yang dingin. Hangatkan yang enggak punya pakaian dengan belaian tangan-Mu. Ingatlah orang kere macam kami yang selalu menggapai-gapai rumah gedongan. Ingatlah pula…”
Sampai di situ Kartini berhenti berdoa. Ia ingat Tayib, suaminya, berjuang menghidupi keluarga tanpa kenal lelah. Bibir Kartini gemetar menyebut orang yang paling ia cintai itu. Dadanya berdegup kencang, berdentam-dentam. Ia merasakan sesuatu yang asing, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, rasa kehilangan dan kesedihan mendalam, begitu menyayat dan mengiris haTinya.
Tiba-tiba Kartini menangis. Air matanya mengalir deras, jauh lebih deras dari hujan malam itu. Dan segala perasaan yang tidak mengenakkan berbaur menjadi satu di dadanya, menghujani jantungnya dengan kepedihan yang makin lama makin sempurna.

1 komentar:

  1. jadi ?? apa fungsi kata ulang dalam pembuatan paragraf naratif ??

    BalasHapus